-->

Antibiotika Berbahaya Pada Anak

Hati-hati Memberikan Obat Antibiotik kepada Anak

  bisa mengakibatkan resistensi kuman dan mengurangi imunitas Antibiotika Berbahaya Pada AnakMasalahnya, antibiotik bisa mengakibatkan resistensi kuman dan mengurangi imunitas.

“Dok, saya bingung, bayi saya ini, kok, sering sekali bolak-balik berobat karena penyakit yang sama, flu dan flu dan flu,” kata seorang ayah diruang praktik dokter seorang andal anak, yang segera dilanjutkan oleh istrinya, “Iya, Dok. Padahal bayi saya ini sudah diperlakukan sesuai dengan apa yang dokter sarankan, diberi ASI eksklusif, saya makannya sudah 4 sehat 5 tepat yang dimasak matang, kebersihan kamar dan rumah oke, begitu juga dengan ventilasi udara dan cahaya, sudah sesuai standar kesehatan internasional, deh.”

Sebelum si dokter sempat menjawab, si ibu kembali berkata, “Oh, ya,Dok, di rumah saya tidak ada perokok, pendingin udara di kamar dipatok pada suhu 25 derajat celcius, setiap pagi AC dimatikan dan membuka jendela lebar-lebar. Juga tak hanya antibiotik, semua obat yang diberikan dokter selalu dihabiskan menyerupai apa kata dokter.” Sambil menulis resep, si dokter menanggapi, “Bu-Pak, kita semua ini insan yang masih sedikit sekali ilmunya. Makara pertahankan apa yang telah disebutkan Bapak dan Ibu tadi. Sekarang kita coba dulu dengan obat yang ini, mudah-mudahan berhasil.” “Basi!” Mungkin pernyataan ini yang akan keluar dari verbal si bapak dan ibu tadi. Mungkin juga kita akan mengucapkan hal yang sama, jikalau hal itu-itu saja yang dikemukakan dokter setiap kali kita mempertanyakan kenapa si kecil harus sakit saban minggu.

Gara–gara Antibiotika
Menurut Prof. Iwan Darmansjah, MD, SpFK., bayi seharusnya ditakuti oleh penyakit alias jarang sakit. Mengapa? “Karena bayi masih dibentengi imunitas tinggi yang dibawanya dari dalam kandungan, juga diperoleh dari air susu ibunya. Jadi, penyakit sehari-hari menyerupai flu yang ditandai panas, batuk, pilek-, penyakit virus lain, atau bahkan infeksi kuman, seharusnya sanggup ditolak bayi dengan baik,” papar senior konsultan Pusat Uji Klinik Obat Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (PUKO FKUI) ini.Karenanya, jikalau bayi hampir saban ahad atau sebulan bisa dua kali bahkan lebih berobat ke dokter, lanjut Iwan, “Tentu akan timbul pertanyaan besar. Apakah ada yang salah dari lingkungan, apakah ada yang salah pada tubuh si bayi, ataukah dokter yang salah mendiagnosa.”

Iwan berpendapat, jikalau bayi berobat ke dokter karena flu hanya sesekali dalam kurun waktu 6-12 bulan, masih terbilang wajar. Tetapi kalau sudah setiap 2-3 ahad sekali harus pergi berobat ke dokter, maka tak bisa dikatakan masuk akal lagi. “Kondisi ini bisa terjadi jikalau tak ada faktor penyulit serta sudah menghindari faktor pencetusnya-, kemungkinan besar karena si bayi selalu mengonsumsi antibiotik yang diresepkan dokter setiap beliau sakit,” ungkapnya. Padahal, tidak semua penyakit yang dialami bayi, apalagi flu, harus diobati dengan antibiotik. Sekalipun antibiotiknya itu dalam dosis, takaran, atau ukuran yang sudah diadaptasi dengan usia, berat dan tinggi tubuh si bayi.

Fatal Akibatnya
Penting diketahui, antibiotik baru ampuh dan mempunyai kegunaan jikalau berhadapan dengan basil atau kuman. Antibiotik tak akan bisa membunuh virus juga parasit. “Nah, insiden demam karena flu itu, kan, sekitar 90%, bahkan 95% disebabkan oleh virus. Jadi, salah kaprah sekali jikalau bayi flu harus minum antibiotik karena tak akan menuntaskan masalah, apalagi menyembuhkan penyakit si bayi,” bilang Iwan.

Kesalahkaprahan tunjangan antibiotik ini akan ditebus mahal oleh bayi, yakni menurunkan imunitas tubuh si bayi. Makanya tak heran jikalau bay iyang setiap sakit demam selalu minum antibiotik, tidak akan lebih dari satu bulan niscaya sakit kembali. Lebih jauh lagi, antibiotik tak menyampaikan efektivitasnya langsung terhadap tubuh insan menyerupai obat lain, tetapi melalui kemampuannya untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan kuman. Nah, kalau tidak ada kuman jahat untuk dibunuh ia justru membunuh kuman yang baik, dan ini merupakan imbas sampingnya. Selain itu antibiotik bisa mengakibatkan resistensi kuman dan mengurangi imunitas anak terhadap virus dan kuman.

Meski resistensi kuman merupakan fenomena yang logis alamiah, tapi berdasarkan Iwan, pemakaian antibiotik yang hiperbola dan tidak rasional bisa mempercepat resistensi kuman pada tubuh pasien. Reaksi lain yang bisa dilihat karena tunjangan antibiotik yaitu timbul demam, reaksi alergi, syok, sampai yang terparah yaitu kematian, karena si bayi tak tahan terhadap antibiotik yang dikonsumsinya. “Jangankan bayi, orang cukup umur saja bisa meninggal jikalau beliau tidak tahan antibiotik yang diminumnya,” tambah Iwan.

Penggunaanya Harus Tepat
Lain ceritanya, lanjut Iwan, jikalau bayi terkena penyakit yang disebabkan kuman atau bakteri. Sekalipun tidak wajib, bayi boleh saja menjalani terapi antibiotik untuk kesembuhannya. “Tentu harus dengan antibiotik yang sesuai untuk penyakit yang dideritanya.” Jadi, antibiotik yang diberikan harus tepat dengan jenis mikroorganisme penyebab penyakit. Kalau tidak, maka penyakit tak akan sembuh. Sebagai contoh, menyerupai dipaparkan Iwan, untuk mengobati nanah bisa dipakai Dicloxacillin, Flucloxacillin atau Eritromisin, Spiramisin,Roxithromisin, dan sejenisnya. Untuk mengobati radang paru-paru sanggup dipakai antibiotik Penicillin G (injection) dan seturunan Eritromisin di atas. “Tetapi bayi dan anak tak boleh mengonsumsi antibiotik Moxifloxacin untuk mengobati radang paru-parunya, kecuali orang dewasa.”

Sedangkan untuk mengobati tifus bisa memakai Kloramfenicol atau Ciprofloxacin. Khusus untuk bayi dan anak, jikalau tak tahan Kloramfenicol, maka sanggup diberikan Ciprofloxacin. Selain itu, tunjangan antibiotik juga harus tepat dosisnya, tak boleh lebih ataupun kurang. Untuk ukuran dosis, tiap bayi berbeda-beda, tergantung seberapa parah penyakitnya, riwayat kesehatannya, sampai berat dan panjang tubuh si bayi. Terakhir, harus tepat pula kapan antibiotik itu diminumkanpada si bayi, berapa jam sekali, biasanya sebelum makan, dan boleh dicampur obat lain atau tidak. Yang perlu diperhatikan, penggunaan antibiotik tak melulu dengan cara diminum (per oral), tetapi ada pula yang lewat jalur injeksi. Karena itu, jangan sekali-kali memberi antibiotik sendiri tanpa sepengetahuan dan resep dari dokter. “Ingat itu berbahaya dan percuma, karena hanya dokter yang tahu antibiotik A yaitu untuk mengobati kuman yang peka terhadap A,” tandas Iwan.

Hal penting lainnya, antibiotik harus dikonsumsi sampai habis supaya mikroorganisme yang menjadi sasaran antibiotik sanggup dimusnahkan secara tuntas. Bila tak dihabiskan, kemungkinannya mikroorganisme tersebut akan menjadi kebal terhadap tunjangan antibiotik sehingga penyakit tidak sembuh tuntas.

Mengganggu Fungsi Ginjal
Penggunaan antibiotik yang tak perlu, ujar Dr. rer. nat. Budiawan dari Pusat Kajian Risiko dan Keselamatan Lingkungan (PUSKA RKL) Universitas Indonesia, bisa mengakibatkan timbulnya kekebalan mikroorganisme terhadap antibiotik yang diberikan tersebut. Sehingga, jikalau timbul penyakit tanggapan mikroorganisme yang sudah kebal tersebut, tunjangan antibiotik biasa tak akan bisa menyembuhkan penyakit tersebut sehingga harus dicari antibiotik yang lebih ampuh. Selain itu, mengonsumsi antibiotik yang tidak tepat bisa membunuh basil yang justru diharapkan tubuh, dan bisa terjadi gangguan sistem biokimia dalam tubuh. Efek lainya, bisa mengganggu sistem ekskresi tubuh, “Dalam hal ini gangguan terhadap fungsi ginjal, mengingat materi aktif utama senyawa antibiotik tertentu bersifat nefrotoksik atau racun bagi fungsi sistem ginjal.”

Kenapa Dokter “Mengobral” Antibiotika ?
Sekalipun dampaknya sudah terang merugikan pasien, namun tetap saja masih banyak dokter meresepkan antibiotik padahal jelas-jelas penyakit yang diderita si bayi bukan karena kuman. Menurut Iwan, hal ini dikarenakan perasaan tidak secure seorang dokter dalam mengobati pasiennya. Walau begitu, Iwan tetap tak setuju. “Kalau boleh terus terang, sampai kini saya juga gundah dan tak bisa mengerti, kenapa banyak  sekali dokter yang berbuat sebodoh itu, pada belum dewasa lagi,” katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Bohong besar, tambah Iwan, jikalau dokter menyampaikan kepada pasienya, penyakit flu atau pilek yang dideritanya akan bertambah parah jikalau tak diobati dengan antibiotik. Karena itu, sebagai pasien atau orang bau tanah pasien harus berani dengan tegas menolak, “No antibiotik, jikalau penyakit yang kita derita bukan karena bakteri.” Penolakan menyerupai ini yaitu hak pasien, lo.

Apa sih Sebenarnya Antibiotika Itu ?
Antibiotik dibentuk sebagai obat derivat yang berasal dari makhluk hidup atau mikroorganisme, yang sanggup mencegah pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme lain. “Antibiotik diperoleh dari hasil isolasi senyawa kimia tertentu yang berasal dari mikroorganisme menyerupai jamur, actinomycetes, bakteri. Hasil isolasi tersebut dikembangkan secara sintetik kimia dalam skala industri,” kata Budi. Akan tetapi, tidak semua makhluk hidup sanggup dijadikan antibiotik, karena antibiotik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Harus efektif pada konsentrasi rendah.
2. Harus sanggup menghambat pertumbuhan atau membunuh satu atau lebih jenis mikroorganisme.
3. Tidak boleh mempunyai imbas samping bersifat toksik yang signifikan.
4. Harus efektif melawan patogen.
5. Harus sanggup disimpan dalam jangka waktu usang tanpa kehilangan aktivitasnya.
6. Harus sanggup dieliminasi dari tubuh secara tepat sesudah tunjangan dihentikan.
7. Harus bersifat sangat stabil biar sanggup diisolasi dan diproses dalam takaran yang sesuai, sehingga segera sanggup diserap tubuh.

Sumber: http://dannyprijadi.wordpress.com

Linked Posts:
Antibiotika Dan Kekebalan Tubuh Pada Anak | Penyakit TB Bisa Menjadi Kebal Obat | Pernyataan Dokter Tentang Obat Kimia | Hati-hati Mengobati Diri Sendiri | Propolis — Antibiotika Alami Tanpa Efek Samping

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Antibiotika Berbahaya Pada Anak"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel